Selain udara bersih, tidak ada yang yang lebih penting bagi kehidupan selain air bersih. Keduanya mutlak merupakan kebutuhan dasar bagi setiap mahluk hidup.
Air memang bisa saja melimpah dimana-mana. Tapi air bersih, itu hal yang berbeda, mengingat ketersediaannya dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik minum, memasak, mandi, mencuci tangan, bahkan bercocok tanam.
Apalagi sejak adanya pandemi COVID-19, kebutuhan air bersih meningkat dengan adanya protokol kesehatan yang mensyaratkan setiap orang untuk semakin rajin mencuci tangan guna mengurangi resiko penularan.
Berbeda dengan udara, air bersih tidak selalu ada dimana-mana. Di pelajaran sekolah dasar, kita diajarkan tentang bagaimana siklus air berproses.
Siklus air atau siklus hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfer melalui proses kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi.
Dalam siklus air, saat hujan, air mengalir di atas bumi dan meresap ke dalam tanah. Air terkumpul membentuk pasokan air. Sebagian air berada di atas permukaan tanah, dalam bentuk sungai dan danau. Sementara, pasokan air lainnya tersimpan di bawah permukaan tanah.
Baca juga: Gelar World Tour Yang Ramah Lingkungan, Coldplay Didukung para Pakar Teknologi Lingkungan
Air yang berada di bawah permukaan tanah berasal dari air hujan yang diserap oleh hutan yang berfungsi sebagai spons raksasa.
Perakaran pohon dan serasah dedaunan menciptakan kondisi terjadinya infiltrasi air hujan masuk ke dalam tanah dan kemudian terakumulasi di kantung-kantung air dalam tanah yang berperan sebagai pasokan air di musim kering melalui sumber-sumber mata air.
Hutan menyediakan sistem infiltrasi alami dan penyimpanan yang memasok sekitar 75 persen air yang dapat digunakan secara global.
Keberadaan hutan bukan hanya penting sebagai paru-paru dunia yang menyediakan oksigen bagi kebutuhan semua mahluk hidup, namun juga sebagai ruang serapan air bagi tersedianya pasokan air bersih.
Sumber-sumber mata air muncul dari kawasan hutan dan membentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengalir hingga bermuara ke laut.
Di seluruh dunia, kawasan hutan hujan tropis yang hampir sepanjang tahun diguyur hujan, terletak di wilayah sabuk khatulistiwa.
Beberapa negara yang memiliki kawasan hutan hujan tropis dan didaulat menjadi paru-paru dunia adalah Brasil, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Peru dan Kolombia.
Maraknya deforestasi akibat alih fungsi lahan demi kepentingan pertambangan, perkebunan, peternakan, industri, infrastruktur dan pemukiman membuat luasan kawasan hutan dunia semakin menyusut.
Akibat yang muncul karena ulah manusia tersebut bukan hanya berpengaruh pada pemanasan global akibat jejak karbon yang ditinggalkannya terakumulasi menjadi emisi gas rumah kaca.
Namun juga pada perubahan intensitas curah hujan yang ekstrim sehingga tidak lagi mampu tertampung oleh tanah yang telah kehilangan daya serapnya akibat deforestasi.
Baca juga: 3,12 Juta Hektare Kebun Sawit Di Kawasan Hutan Indonesia Penyumbang Perubahan Iklim
Deforestasi membuat kantung-kantung air tanah tidak lagi terisi oleh air hujan yang terserap, debit air yang keluar dari sumber-sumber mata air pun semakin kecil.
Air yang tidak terserap oleh tanah langsung meluncur ke DAS tanpa terbendung dengan membawa endapan lumpur dan berbagai sampah kotoran hingga terjadi longsor yang mengakibatkan pendangkalan sungai.
Dangkalnya sungai membuat limpasan air hujan yang tidak tertampung berubah menjadi luapan banjir yang menerjang masuk ke wilayah pemukiman hingga menimbulkan korban jiwa dan harta benda.
Dalam situasi banjir yang dipenuhi oleh genangan air kotor, di saat itulah kelangkaan air bersih justru terjadi.
Ironisnya, di tengah semua situasi yang memprihatinkan tersebut, masih banyak orang yang melakukan pemborosan air untuk alasan-alasan yang sangat tidak penting, bahkan sekedar hanya karena kelalaian lupa menutup keran air.
Menurut water.org, saat ini sekitar 18 juta orang Indonesia kekurangan air bersih, sementara 20 juta orang tidak mampu untuk mengakses fasilitas sanitasi yang lebih baik.
Persoalan kehutanan bukan hanya sekedar masalah deforestasi terkait upaya menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,50C serta mengurangi laju peningkatan emisi gas rumah kaca.
Lebih dari itu, deforestasi jadi penyebab terjadinya Krisis Air Global (Gobal Water Crisis) di masa depan akibat kelangkaan air bersih dalam jangka panjang yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia.
Jumlah kebutuhan air bersih yang dibutuhkan oleh hampir 8 milyar jiwa penduduk bumi, bukan tidak mungkin memicu terjadinya terjadinya perang antar negara -bahkan genosida- demi memperebutkan sumber-sumber air bersih.
Bukankah tidak ada yang baru di bawah matahari?
Editor: Mahendra Uttunggadewa