“Ketika Greenpeace mengumumkan kolaborasinya, dengan grup sektor sawit dan pulp/kertas, konsesi-konsesi tersebut telah berada di lahan gambut, dan Presiden Jokowi belum menjabat sebagai Presiden RI,” jelasnya.
Terkait dengan sawit di dalam kawasan hutan, Sekjen KLHK menggaris-bawahi bahwa hampir seluruh kasus tersebut bukan terjadi pada periode pemerintahan Presiden Jokowi.
Isu sawit di dalam kawasan hutan, lanjutnya jelas bukan hal baru bagi Greenpeace karena ketika Greenpeace berkolaborasi dengan grup sawit perusahaan besar, juga terdapat konsesi-konsesi sawit perusahaan yang saat itu berada di dalam kawasan hutan.
“Mengapa Greenpeace tetap memulai dan melanjutkan kolaborasi dengan grup sawit perusahaan itu hingga bertahun-tahun lamanya yang konsesi-konsesinya berada di dalam kawasan hutan? Ini juga contoh nyata tidak konsistennya Greenpeace,” tegas Bambang.
“Jika sekarang Greenpeace mempersoalkan soal sawit di kawasan hutan, pertanyaannya adalah mengapa baru sekarang mempersoalkannya? Bukankah Greenpeace telah bertahun-tahun lamanya berkolaborasi dengan grup sawit yang memiliki sawit di dalam kawasan hutan?,” tanya Sekjen KLHK.
Terhadap pernyataan Sekjen KLHK, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas tidak membantah.
Dalam wawancara yang dikutip dari CNN Indonesia, Arie mengakui Greenpeace memang pernah bekerja sama dengan anak perusahaan Sinar Mas yaitu Asia Pulp & Paper (APP) pada 2013-2018.
Namun, ia menyebut tujuan kerja sama itu justru untuk menghentikan deforestasi. Sebab, ada desakan dari konsumen untuk menghilangkan praktik deforestasi dari perusahaan besar seperti Sinar Mas.
“Dari tekanan itu mereka meminta solusi apa yang harus dilakukan Greenpeace. Sehingga Greenpeace memberikan engagement atau solusi yang harus dilakukan oleh Sinar Mas,” kata Arie.
Tapi seperti apa sesungguhnya yang terjadi di balik kerja sama Greenpeace dengan Sinar mas, tunggu saja tanggapan resmi dari Greenpeace.
Baca juga: Kebun Sawit dan Perambahan Hutan, Quo Vadis RSPO dan ISPO?
Editor: Mahendra Uttunggadewa